Sore itu, lembayung senja memantulkan cahaya di sungai bengawan, 3 paddle board dan 1 perahu kayak menepi di dermaga sebuah desa di tepian bengawan.
Sebuah desa bernama Kebomlati yang terletak di sudut meander, dan pernah menjadi saksi tentang penghargaan status sima dari Prabu Hayam Wuruk di tahun 1358 Masehi
i pakebohan, begitu tulis prasasti canggu yang mencatat keberadaan toponimi desa, yang kini berubah nama menjadi Kebomlati, Tuban
Hari menjelang larut malam, dan para tim ekspedisi melepas penat setelah mendayung selama 5 jam dari desa ngadirejo, Bojonegoro. Keesokan harinya, para tim ekspedisi menjalani ritual tuku banyu bengawan, ritual yang memiliki makna penghargaan pada sang bengawan karena telah memberikan air yang melimpah sepanjang tahun.
Pagi itu, (9/8) arah jarum jam menunjukkan pukul 07.30, mentari belum begitu terik. Suasana hangat menyelimuti seluruh warga yang berkumpul. Tua muda, remaja hingga balita tumpah ruah di jalanan desa yang berada tepat di dekat dermaga.
Kades Kebomlati, Munijan, mengatakan Tuku Banyu merupakan tradisi keselamatan dalam adat setempat di mana setiap bayi laki-laki maupun perempuan dianjurkan untuk 'membeli' air sungai. Atau yang dalam bahasa Jawa disebut "tuku banyu nggawan" (membeli air bengawan/sungai).
Ritual ini dilakukan sejak turun temurun, di wajibkan bagi anak-anak yang menginjak usia tujuh bulan hingga dua tahun. Selain itu, ritual juga berlaku bagi warga pendatang seperti kami (Tim MEBS)
Jam menujukkan pukul 08.15, mentari sudah mulai beranjak naik. Sesepuh desa bergegas mengajak untuk berkumpul. Sesaat kemudian, saya dan seluruh peserta diarak oleh warga dengan iringan musik dari alat dapur yang ditabuh mengikuti arahan sang perjangga
Di dalam rombongan itu, saya dan tim Ekspedisi juga terdapat peserta lain yang masih bayi. Ketujuh bayi itu didampingi orangtua masing-masing mengikuti ritual mandi di sungai.
Ritual ini mewajibkan peserta untuk membeli air (tuku banyu) bengawan seharga Rp 500 atau Rp 1000,- uang tersebut harus dalam bentuk koin.
Menurut penuturan sesepuh, tradisi tuku banyu nggawan ini bertujuan agar warga, khususnya si bayi, diberikan keselamatan oleh Allah SWT dari marabahaya yang terjadi di air.
Sebagai bentuk penghormatan, Tim Misi Ekspedisi Bengawan Solo (MEBS) juga menjalani ritual Tuku Banyu. Bagi kami, ini adalah ritual ke 3 kali, setelah sebelumnya, tim juga di mandikan di pesanggrahan keraton alit, langenharjo, dan di Ngawi Purba, kami juga mandi di tempuran kali Bengawan Solo dan kali Madiun.
Saat giliran tiba, saya pun berdiri di tepi Bengawan, menghadap ke sosok wanita paruh baya yang membawa gayung dari batok kelapa dan bergagang kayu. Perjangga wanita bernama Umayah ini mempersilahkan saya untuk melepas blangkon, dan menanyakan bekal koin yang nantinya di gunakan sebagai sarana beli air.
dungo neng njero ati wae le, jaluk marang gusti ALLAH mugi diparingi lancar lan sehat” demikian ucap perjangga dalam bahasa Jawa.
Artinya “bacalah doa dalam hati saja ya nak, memohon kepada ALLAH agar di berikan kemudahan dan kesehatan”
Usai memanjatkan doa, sang perjangga mengguyurkan air ke kepala saya. Ya, untuk menjalani ritual ini, kita tidak perlu mandi, cukup menyiramkan air bengawan di ubun - ubun (ujung kepala), tak seperti di tempat sebelumnya, kami harus menceburkan diri ke Sungai.
Sang perjangga menyiramkan air di kepala saya sebanyak 3 x, dan memberikan kode agar saya melempar koin ke tepi sungai. “Plung” uang koin Rp.500,- itupun tenggelam ke dasar sungai.
Sekedar informasi, Perjangga merupakan sebutan untuk sesepuh desa, sosok ini di yakini memiliki kemampuan untuk menghantarkan sebuah doa / permohonan. Di berbagai daerah, perannya cukup vital seperti menentukan hari pernikahan, hingga tradisi bubak
Usai ritual, kami pun menikmati makanan berupa tumpeng. Dalam hati bergumam, inilah kebahagiaan terbesar dalam hidup saya dapat menyaksikan tradisi dan penghargaan untuk alam.
Dalam benak saya, ritual tuku banyu lebih dari sekedar ritual jual beli air, ada selaksa (begitu banyak) doa yang di panjatkan oleh insan di tepi bengawan.
Doa keselamatan itu juga di wujudkan dalam upaya ekologi yang nyata, sebab, ketika warga Bengawan memberikan penghargaan pada sungai, tentu mereka tidak mungkin mengotorinya (baca: membuang sampah di sungai)
Catatan : Tofan Ardi - Penanggung Jawab Aksi dan Mitigasi Misi Ekspedisi Bengawan Solo
COMMENTS