Kita bersepakat bahwa wilayah daratan negara kita sejak dulu layak disebut sebagai negara agraris, yang didukung kondisi sumberdaya lahan yang subur dan ketercukupan air untuk penyediaan pangan bagi rakyat Indonesia. Tapi fakta lain juga menunjukkan bahwa negara kita sudah lama berlangganan menjadi pengimpor pangan dari negara lain. Sementara di dalam negeri, banyak pihak seperti galau dan mati langkah saat merupaya melindungi sawah sebagai sumber pertanian pangan.Silang kata yang pertama adalah kesepakatan tentang definisi sawah cenderung berbeda antar instansi. Ada yang focus pada jenis tanaman padi. Ada yang fokus pada status sawah irigasi. Ada lagi yang bersikukuh dengan status hukum sebagai sawah karena alih fungsi ke non pertanian belum berijin.
Silang kata yang kedua terkait perbedaan istilah terkait sawah beserta fokus kajiannya. Ada LPPB (lahan pertanian pangan berkelanjutan) yang memetakan lahan sawah sebagai sumber pangan, melebar sampai lahan cadangan. Ada LBS (luas baku sawah), yang merujuk pada jenis penggunaan sawah existing atau kecenderungan sering dipergunakan sebagai sawah (baca: ditanami padi) oleh petani. Yang terakhir ada LSD (lahan sawah dilindungi), yang menyajikan data luas sawah terkoreksi oleh kebijakan peruntukan ruang non pertanian.
Silang kata dan istilah di atas boleh jadi diyakini dan dilaksanakan oleh instansi yang berbeda dengan merujuk pada aturan masing-masing. Penentuan lahan sebagai sawah atau bukan saja sudah menjadi tantangan tersendiri, apalagi dengan membandingkan luasan LPPB, LBS dan LSD yang dikerjakan lintas instansi, baik di pusat maupun sampai daerah. Biasanya Kementan mengacu pada data LPPB. BPN mengacu pada data LBS. Sedangkan PUPR mengacu pada data LSD.
Prasangka baiknya, semua pihak bersepakat melakukan perlindungan sawah, tapi luasan yang mana perlu disepakati, caranya seperti apa juga perlu disepakati, dan tentu saja bagaimana penegakan aturan di lapangan. Sering aturan perlindungan hanya menyasar pada perusahaan dan tanpa kejelasan untuk pelanggaran perseorangan.
Realisasi perlindungan dapat dilakukan dengan regulasi insentif dan disinsentif. Pembuatan aturan terkait ini sangat mudah dibuat dengan merujuk perundangan di atasnya. Tapi realisasi di lapangan amat-sangat-tidak-mudah. Pihak mana dan dari sumber mana untuk regulasi insentif saja masih belum jelas. Belum lagi poin per poin yang ditawarkan masih kalah jauh menariknya dengan iming-iming asset untuk investasi lainnya, missal : pengurangan PBB, sertifikat sawah, jalan produksi, subsidi pupuk, dll.
Sementara itu pelaksanaan disinsentif juga sering hanya terhenti di secarik kertas aturan. Fakta lapangan sangat jarang dilakukan eksekusi, misalnya para pelanggar yang membuat bangunan di Kawasan lahan sawah yang dilindungi. Biasanya hanya dieksekusi dengan tidak terbitnya perijinan dan kompensasi denda.
Semua pihak yang peduli pada perlindungan sawah perlu mendengarkan apa-apa yang diinginkan oleh petani agar mereka bangga dan swadaya mempertahankan sawahnya. Kita perlu menjamin kemudahan dan kelancaran dalam penyediaan saprodi dan jaringan irigasi. Kita juga perlu mendorong koorporasi petani yang lebih meningkatkan nilai jual produk yang dihasilkan, misalnya dengan MoU gapoktan dengan BUMDes dan BUMD yang terkait dengan penyediaan dan distribusi pangan. Kawasan sawah juga perlu diikat dengan aturan, misalnya tercantum dalam sertifikat bahwa selama 20 tahun tidak boleh dialihfungsikan dengan ancaman berat bagi pelanggarnya.
Kita berharap instansi pemerintah bidang pertanian, pertanahan, tata ruang dan investasi bisa duduk Bersama untuk menyepakati “siapa berbuat apa” yang ujungnya adalah perlindungan sawah untuk jaminan pangan masa depan bangsa Indonesia.
Muhamad Kundarto | Peneliti dalam Misi Ekspedisi Bengawan Solo
COMMENTS